Penulis :
HERIYANTO
Jurusan Pendidikan Kewarganegaraan
STKIP Kusuma Negara Jakarta
Abstrak
Tujuan
penelitian ini adalah untuk melihat apakah terdapat hubungan persepsi siswa
tentang kompetensi guru dengan hasil belajar PPKN di Rayon 04 Kecamatan
Cilincing, Jakarta Utara. Penelitian ini dilaksanakan pada tanggal 10 April
2012 sampai dengan 10 Mei 2012 bertempat di
Rayon 04 Kecamatan Cilincing, Jakarta Utara Populasi penelitian ini
adalah seluruh siswa sekolah menengah atas yang berjumlah 840 siswa dan secara
acak dipilih 40 orang siswa. Terdapat dua variable dalam penelitian ini,
variable dependen dan independen. Metode yang digunakan dalam penelitian ini
adalah metode penelitian kuantitatif, dimana data-data yang dikumpulkan akan
dianalisa secara kuantitatif sehingga pengaruh antar dua variable dapat dilihat
dengan jelas. Analisa penelitian ini menggunakan rumus korelasi Pearson.
BAB 1
PENDAHULUAN
1.
Latar Belakang Masalah
Pendidikan mempunyai peranan penting dalam
perkembangan dan kelangsungan hidup suatu bangsa. Demikian halnya dengan
Indonesia yang menempatkan pendidikan pada posisi penting dalam pembangunan
nasional, tampak dari tujuan pendidikan nasional, yaitu mencerdaskan kehidupan
bangsa dan mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa
yang bermartabat.
Didalam membangun manusia Indonesia yang cerdas
dan bermartabat, diperlukan penguasaan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni
yang berlandaskan pada nilai-nilai keagamaan, moral dan kemanusiaan dan
nilai-nilai budaya bangsa.
Untuk mencapai tujuan pendidikan nasional seperti
diutarakan diatas, maka diperlukan unsur-unsur pendidikan yang meliputi kurukulum,
guru, peserta didik, sarana prasarana penunjang dan pengelolaan program
pendidikan. Guru memegang peranan penting dalam proses pembelajaran, sebab guru
dianggap sebagai salah satu unsur penentu dalam peningkatan keberhasilan siswa.
Untuk itu guru dituntut untuk memiliki kompetensi dan keterampilan
professional.
Kompetensi profesional merupakan salah satu dari
kompetensi yang harus dimiliki oleh setiap guru dalam jenjang pendidikan
apapun, artinya guru harus memiliki kemampuan untuk membina, mengawasi kemampuan
siswa dalam perkembangan belajarnya. Dengan demikian guru harus memiliki
keahlian khusus, karena jabatan guru merupakan jabatan profesi.
Dalam usaha-usaha kepemilikan dan pengembangan
kompetensi professional tersebut, guru tidak hanya diwajibkan untuk memiliki
latar belakang pendidikan yang cukup pada bidangnya namun juga pembinaan
berkelanjutkan yang dilakukan oleh setiap komponen pendidikan khususnya oleh
kepala kepala sekolah pada sebuah jenjang pendidikan formal. Pembinaan guru
dalam meningkatkan kualitas kompetensi profesionalnya secara berkelanjutan
tentunya akan mengubah pola-pola pembelajaran konvensional dalam ruang kelas
yang kemudian hasilnya secara langsung dapat terlihat dalam peningkatan hasil
belajar siswa. Selain itu, peningkatan kualitas kompetensi professional guru
juga meruapakan sebuah usaha peningkatan kualitas guru secara umum. Sehingga
keberhasilan guru dalam meningkatkan kualitas kompetensi profesionalnya juga
akan berdampak pada meningkatkan kualitas komptensi guru secara keseluruhan.
Untuk itu jabatan guru diperlukan syarat-syarat
khusus, apalagi sebagai tenaga profesional yang harus menguasai benar tentang
pendidikan dan pengajaran serta berbagai ilmu lainnya yang perlu dibina sesuai
dengan perkembangan, kemajuan ilmu pengatahuan dan teknologi.
Kenyataan yang ada di masyarakat dan dunia
pendidikan saat ini, untuk menjadi guru yang berkualitas, perlu pengalaman di
lapangan. Guru yang profesional menjadi salah satu pendukung dalam meningkatkan
mutu pendidikan. Dewasa ini masih terdapat guru dalam mata pelajaran
kewarganegaraan tingkat sekolah menengah di Jakarta Utara yang kurang menambah
referensi bukunya, kebiasaan diskusi, menulis, apalagi riset, padahal untuk
meningkatkan mutu guru terkait sepanjang kariernya. Masih ada guru yang belum
melaksanakan tugasnya dengan baik sesuai dengan harapan.
Seperti telah disinggung sebelumnya, dampak yang
ditimbulkan dari kurangnya minat guru dalam meningkatkan kompetensi
professional melalui kebiasaan membaca, tukar pendapat, ataupun menulis diatas
secara langsung akan terlihat pada ketercapaian hasil belajar siswa. Padahal,
hasil belajar siswa merupakan salah satu informasi penting terkait dengan
keberhasilannya dua proses pendidikan dan pengajaran di sekolah. Sebagai
contoh, informasi tentang hasil belajar memberikan bukti kuat tentang
keberhasilan sekolah dalam mencapai kurrikulum pembelajaran KTSP yang didesain
bersama-sama pada awal tahun pelajaran selain, bagi guru informasi tentang
hasil belajar ini dapat dijadikan sebagai indicator pencapaian silabus
pembelajaran pada program tahunan. Tentunya, dalam sudut pandang siswa dan
orang tua, informasi tentang hasil belajar ini merupakan bukti kemajuan
aktivitas belajar dan kompetensi apa saja yang telah dicapainya.
Kenyataan yang secara jelas dapat dilihat tentang
pencapaian hasil belajar PPKN di Rayon 04 Kecamatan Cilincing, Jakarta Utara
Utara terkait dengan bidang studi PPKN adalah ketidak mampuan siswa adalam
memperoleh batas criteria ketuntasan minimal atau KKM. Rerata siswa dalam hasil
belajar PPKN terlihat lebih rendah dalam range 60 – 72 dibandingkan nilai KKM
yang ditentukan oleh sekolah yaitu 75.
Sejauh ini, penilaian kinerja dan profesionalisme
guru hanya diukur dalam kaca mata kepala sekolah sebagai pimpinan struktura
tertinggi melalui penilaian kinerja. Sedangkan, persepsi siswa dalam hal
profesionalisme seorang guru mata pelajaran kewarganegaraan belum menjadi
barometer penting yang dapat digunakan dalam pengukuran tingkat profesionalisme
guru ini. Padahal, siswa merupakan bagian dari stakeholder pendidikan dalam
lingkungan pendidikan sekolah. Berdasarkan kenyataan tersebut, maka peneliti
tertarik untuk melakukan penelitian dalam hubungan persepsi siswa tentang
kompetensi guru dengan hasil belajar PPKN di Rayon 04 Kecamatan Cilincing,
Jakarta Utara
2. Rumusan Masalah
Dari batasan masalah pada bagian diatas, maka rumusan
masalah dalam penelitian ini adalah: “Adakah hubungan antara persepsi siswa
tentang kompetensi guru dengan hasil belajar PPKN di Rayon 04 Kecamatan
Cilincing, Jakarta Utara?”
3.
Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk melihat apakah terdapat hubungan
persepsi siswa tentang kompetensi guru dengan hasil belajar PPKN di Rayon 04
Kecamatan Cilincing, JakartaUtara.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Deskripsi Teori
Sebuah proses pembelajaran selalu berjalan dalam tiga tahapan utama,
yaitu tahap perencanaan, tahap implementasi dan tahap evaluasi. Dalam
aplikasinya, evaluasi dapat dilaksanakan dalam bentuk sebuah penilaian.
Khalifah dan Quthub mengatakan bahwa:
Penilaian
adalah sebuah proses metodologi yang tersusun rapi untuk mengumpulkan beberapa
keterangan dan menafsirkan bukti-bukti guna melahirkan sebuah keputusan yang
berhubungan dengan para murid atau program pendidikan.[1]
Secara umum aplikasi evaluasi selalu ditujukan untuk
melihat apakah aktivitas siswa dalam proses pembelajaran telah mencapai tujuan
pembelajaran yang diinginkan. Namun, dalam kutipan diatas, Khalifah dan Quthub
menyatakan bahwa penilaian dapat digunakan dalam melihat kompetensi guru dari
sudut pandang murid. Atau dengan kata lain, penilaian dapat dilakukan oleh
siswa untuk memperoleh informasi tentang kelayakan guru dalam melaksanakan
tugas profesionalnya dalam pembelajaran di ruang kelas. Informasi yang
dikumpulkan dari siswa tersebut menyangkut kelebihan dan kekurangan guru,
seperti yang ditambahkan oleh Khalifah dan Quthub bahwa “… penilaian dapat
digunakan pula untuk mengetahui poin-poin yang kuat dan lemah, sehingga dapat
mewujudkan beberapa tujuan yang diharapkan dengan sebaik mungkin.[2]
Dalam
istilah asing, kata persepsi diserap dari akar kata perception yang mengandung makna a belief or opinion, often held by many
people and based on how things seem.
Terjemahan ringan untuk definisi ini bahwa pada hakekatnya persepsi adalah
sebuah keyakinan atau opini yang diperoleh berdasarkan kelihatannya. Dengan
kata lain, persepsi seseorang diperoleh bukan pada kejadian sesaat melainkan
dari rangkaian peristiwa yang terinternalisasi dalam pemikiran yang kemudian
melahirkan sebuah persepsi.
Dengan melihat pemahaman tentang persepsi diatas,
terdapat kaitan erat apa yang didefinisikan tentang persepsi dan penilaian,
karena pada hakekatnya persepsi diperoleh beradasarkan nilai-nilai yang
diperoleh oleh seseorang. Dalam pemahaman yang hamper sama dapat diartikan
bahwa istilah pesepsi digunakan didalam merefleksikan hasil penilaian yang
diberikan oleh seseorang.
Menurut Robbins, persepsi merupakan
“sebuah proses saat individu mengatur dan menginterpretasikan kesan-kesan
sensoris mereka guna memberikan arti bagi lingkungan mereka.”[3]
Dengan menggunakan definisi ini, maka sebuah persepsi didahului oleh aktivitas
panca indra yang menerima gelombang-gelombang sesor dengan informasi yang
dibawanya. Ketika panca indra menjangkau gelombang ini dan otak melakukan
interpretasi atas pesan yang dibawa oleh gelombang-gelombang tersebut, maka
persepsipun terbentuk dari kumpulan pemahaman atau interpretasi ini.
Pendapat Robbins diatas memberikan
kesimpulan atas lahirnya sebuah persepsi sebagai tindak lanjut dari
interpretasi aktivitas panca indra. Maka wajar jika Bjorklund menguraikan
jenis-jenis persepsi dari panca indra manusia, yaitu persepsi visual, auditori,
perbaan, penciuman dan pengecapan.[4]
Persepsi visual merupakan hasi penerimaan informasi yang diinterpretasikan dari
indera penglihata, yaitu mata. Persepsi auditori diperoleh dari gelombang suara
yang diinterpretasikan oleh otak setelah diterima oleh telinga. Selain itu,
indra taktil atau kulit merubah gelombang-gelombang yang diterima dari sentuhan
yang dirubah kedalam persepsi pengrabaan. Sebagai indra penciuman, hidup
digunakan untuk membentuk persepsi penciuman atau olfaktori selain lidah yang
membentuk persepsi tentang rasa.
Walaupun dalam definisinya Robbins
menekankan kepada aktivitas indrawi dalam proses pembentukan sebuah persepsi,
Robbins tetap mengakui dua hal yang mempengaruhi persepsi seperti pengalaman
masa lalu dan asumsi. Dengan kata lain, bahwa setiap kejadikan yang pernah
dilakukan, dirasakan atau dialami oleh seseorang dimasa yang telah lalu sangat
berpengaruh terhadap pembentukan perspesi tentang suatu hal. Misalnya, seorang
siswa seketika mengatakan guru yang memegang penggaris adalah guru yang galak
kerena dahulu orang tuanya sering sekali menghukum dia dengan menggunakan penggaris.
Pada contoh ini, persepsi yang dibentuk oleh anak tentang guru yang memegang
penggaris adalah galak dibentuk oleh sekuen pengalaman yang dia peroleh dari
orang tuanya terutama pada penggaris yang digunakan sebagai alat untuk
menghukumnya.
Selain itu, pembentukan sebuah
persepsi juga dipengaruhi oleh asumsi-asumsi yang digaungkan pada dirinya.
Asumsi ini mungkin saja tumbuh dari dalam diri ataupun dibentuk oleh lingkungan
seseorang berada. Sebagai contoh, banyak sekali anak muda dewasa ini yang enggan
untuk memakan buan pare sebagai salah satu makanan yang menyehatkan. Hal ini
disebabkan asumsi yang dibuat atau dibentuk oleh lingkungan sekitar bahwa pare
adalah makanan yang sangat pahit dan tidak memiliki rasa yang menyenangkan.
Dari penjelasan diatas, maka dapat
disimpulkan bahwa persepsi merupakan proses interpretasi dari sebuah penerimaan
sensorik seseorang yang dipengaruhi factor-faktor masa lalu dan asumsi yang
dibentuk oleh diri maupun lingkungan seseorang tinggal. Terjadinya persepsi
diawali rangsangan luar atau stimuli yang kemudian ditindak lanjuti dengan
interaksi terhadap rangasangan tersebut sehingga terkumpul informasi-informasi
dalam aktivitas interaksi. Pemilahan terhadap informasi yang diterima menjadi
dasar penafsiran atau interpretasi yang membentuk apa yang dikenal dengan
persepsi.
Kompetensi berasal dari bahasa
Inggris yaitu “Competence“ yang berarti kemampuan atau kecakapan[5],
hal ini mengarah pada keahlian seorang guru, untuk dapat memutuskan dan
memecahkan masalah. Kompetensi dapat pula diartikan sebagai pengetahuan,
keterampilan, dan nilai-nilai dasar yang direfleksikan dalam kebiasaan berfikir
dan bertindak[6].
Dengan demikian, kompetensi yang dimiliki oleh setiap guru akan menunjukan
kualitas guru yang sebenarnya.
Kompetensi merupakan kemampuan dan
kewenangan guru dalam melaksanakan profesi keguruannya. Selanjutnya, Sudjana
profesional adalah pekerjaan yang hanya dapat dilakukan oleh orang yang khusus
dipersiapkan untuk itu dan bukan pekerjaan yang dilakukan orang yang tidak
dapat memperoleh pekerjaan lain.[7]
Suatu pekerjaan professional
memerlukan beberapa bidang ilmu yang
secara sengaja harus dipelajari, dan kemudian diaplikasikan bagi kepentingan
umum, ternyata pekerjaan professional, berbeda dengan pekerjaan lainnya, karena
suatu profesi memerlukan kemampuan dan keahlian khusus dalam pelaksanaannya.
Bertitik tolak pada pengertian diatas, maka profesional guru adalah orang yang
memiliki kemampuan dan keahlian khusus dalam bidang keguruan, sehingga guru
mampu melakukan tugas dan fungsinya, guru profesional adalah orang yang
terdidik dan terlatih dengan baik, serta memiliki pengalaman yang kaya
dibidangnya.[8]
Hanifah dan Suhana menyebutkan bahwa
seorang guru harus memiliki empat kompetensi utama, yaitu kompetensi pedagogic,
kompetensi kepribadian, kompetensi professional dan kompetensi sosial.[9]
Kompetensi pedagogic menuntut guru untuk dapat memahami peserta didik,
melakukan perencanaan, pembelajaran, dan evaluasi pembelajaran serta
pengembangan peserta didik. Terkait dengan kompetensi pedagogik atau kemampuan
untuk memahami ilmu pendidikan inilah Mulyasa mengharapkan bahwa guru memiliki
pemahaman yang cukup tentang psikologi pendidikan, teknologi pendidikan,
metodologi pendidikan, media pendidikan serta evaluasi pendidikan.[10]
Kompetensi kepribadian guru mencakup
pribadi guru yang mantap dan stabil, dewasa, arif berwibawa serta memiliki
akhlak yang mulia. Uno[11]
menjelaskan bahwa kemampuan kepribadian yang juga dikenal sebagai kemampuan
personal guru merupakan sikap kepribadian guru yang mantap atau stabil yang
memapu dijadikan model bagi siswanya sehingga dapat dijadikan contoh dan
diteladani.
Kompetensi professional guru
merupakan kemampuan guru untuk menguasai keilmuan bidang studi dan secara
kritis melakukan pendalaman materi yang diajarkannya. Merujuk kepada kompetensi
ini maka dalam kegiatan profesionalnya, pertama guru harus memiliki kemampuan
dalam merencanakan program pembelajaran dan kemampuan untuk melaksanakan
pembelajaran. Selain itu, guru juga dituntut untuk mengikuti pelatihan yang
berkesinambungan untuk meningkatkan
kemampuan mengajarnya. Mulyasa[12]
memberikan indicator kompetensi yang harus dimiliki terkait tentang uji
kompetensi professional guru, yaitu kemampuan guru dalam menguasai kurrikulum
(didalamnya mencakup analisa kurrikulum, melaksanakan pembelajaran, menyusun
program perbaikan atau remedial, dan kemampuan untuk menyusun program
pengayaan), kemampuan didaktika metode umum (yaitu tentang kemampuan
implementasi metode pembelajaran yang bervariasi, memberikan rangsangan siswa
untuk bertanya dan kemampuan dalam membuat alat peraga sederhana), kemampuan
pengolaan kelas, serta kemampuan untuk melaksanakan pengawasan dan evaluasi
peserta didik.
Kompetensi social menuntut guru
untuk mampu berkomunikasi dan bergaul dengan peserta didik, kolega serta
masyarakat lingkungan sekolah dengan baik dan berterima. Pada kompetensi social
ini guru diharapkan dapat menunjukkan kemampuannya dalam interaksi (atau
melakukan interaksi) bukan hanya dengan siswa, tetapi juga sesama guru, kepala
sekolah, dan masyarakat luas.[13]
Departemen pendidikan dan kebudayaan menuliskan tiga indicator pencapaian pada
kompetensi social yang minial dikuasai oleh guru, yaitu 1) kemampuan dalam
membantu mengembangkan sikap positif pada diri siswa, 2) bersikap terbuka dan
luwes terhadap siswa dan orang lain dan 3) kemampuan guru dalam menampilkan
gairah dan kesanggupannya dalam melakukan kegiatan belajar mengajar serta
pelajaran yang diajarkan.[14]
Selain itu, Hanifah dan Suhana[15]
menjelaskan bahwa indicator pencapaian kompetensi social guru akan berhasil
bila guru dapat bersikap inklusif tidak ekslusif dan dapat bertindak secara
objektif tanpa melalukan pembedaan atas SARA ataupun status ekonomi peserta
didik. Selain itu, guru juga diharapkan dapat berkomunikasi secara efektif
serta dapat berempati terhadap kondisi siswa dengan sikap yang ramah serta
santun dengan sesama pendidik, tenaga kependidikan, orang tua dan masyarkat.
Guru juga dituntut untuk memiliki kemampuan beradaptasi ditempat bertugasnya
dengan karakteristik masyarakat Indonesia dengan keragaman social dan budaya
serta kemampuan dalam berkomunikasi dengan komunitas profesi sendiri dan
komunitas profesi lain.
Untuk menjadi guru profesional,
perlu ada kaitan dengan tugas dan fungsi guru itu. Syah mengatakan bahwa:
“Kompetensi professional guru adalah kemampuan dalam menjalankan profesi
keguruannya.”[16]
Artinya bahwa guru yang piawai dalam melaksanakan profesinya dapat disebut
sebagai guru yang kompeten dan professional. Samana menuliskan bahwa terdapat
sepuluh (10) kompetensi professional guru, yaitu:
(1) Kemampuan menguasai bahan ajar, (2) Kemampuan
mengelolan program belajar mengajar, (3) Kemampuan mengelola kelas, (4)
Kemampuan menggunakan media dan sumber pengajaran, (5) Kemampuan menguasai
landasan kependidikan , (6) Kemampuan mengelola interaksi belajar mengajar, (7)
Kemampuan menilai hasil belajar untuk kepentingan pengajaran, (8) Kemampuan
mengenal fungsi program pelayanan
bimbingan dan penyuluhan, (9) Kemampuan mengenal dan mampu ikut
menyelenggarakan administrasi sekolah, (10) Kemampuan memahami prinsip-prinsip
penelitian pendidikan dan mampu menafsirkan hasil-hasil pendidikan-pendidikan
untuk kepentingan pengajaran.[17]
Guru diharapkan dapat menjalankan
tugasnya sesuai dengan kompetensi profesional yang dimilikinya, penuh tanggung
jawab, baik untuk kepentingan siswa maupun bagi kemajuan dunia pendidikan. Peranan guru di dalam dunia pendidikan
sudah tidak disangsikan lagi dan begitu besar nilai serta jasanya. Guru yang
setiap hari mengajar tentu banyak bergaul dengan siswanya dan mengemban tugas
sebagai pendidik untuk membimbing siswa menjadi dewasa. Guru sebagai profesi
adalah jabatan profesional yang memerlukan berbagai keahlian khusus,[18]
artinya sebagai suatu profesi, maka guru harus memiliki secara profesional.
Dalam Kamus Bahasa Indonesia guru,
diartikan “sebagai orang yang mengajar orang lain baik di sekolah atau bukan
tentang suatu ilmu pengetahuan dan keterampilan.”[19] Menurut Mulyasa, “guru adalah orang yang
terjun dalam dunia pendidikan, dan harus memiliki kepribadian sebagai seorang
pendidik.”[20]
Artinya guru tidak hanya mengajar di sekolah, guru juga dijadikan panutan bagi
siswa, tapi juga dalam masyarakat, guru harus mempunyai citra yang baik.
Dari uraian diatas terhadap dua komponen utama yang
menjadi focus diskusi, yaitu komponen penilaian yang menjadi tolak ukur
lahirnya persepsi siswa dan komptensi guru. Teori Khalifah dan Quthub tentang
persepsi yang diberikan dari refleksi penilaian menjadi dasar utama dalam
memahami makna persepi yang digunakan dalam penelitian ini. Dalam teori
tersebut terlihat bahwa persepi lahir dari sebuah proses panjang dari
pengumpulan keterangan atau informasi yang ditafasirkan dalam beberapa sudut
pandang.
Komponen kedua, yaitu kompetensi, seperti pada teori
yang diusung oleh Usman dipamahami sebagai pengetahuan, keterampilan dan
nilai-nilai dasar yang direfleksikan dalam kebiasaan berfikir dan bertindak.
Dalam kaitannya dengan pembelajaran, maka kompetensi yang dimaksudkan adalah
kompetensi guru dalam empat aspek utama, yaitu kompetensi pedagogic, kompetensi
kepribadian, kompetensi professional, dan kompetensi social.
Dari diskusi diatas, maka dapatlah diambil sebuah
kesimpulan bahwa makna persepsi siswa tentang kompetensi guru dalam penelitian
adalah respon siswa yang digunakan sebagai sebuah alat evaluasi terhadap
keterampilan profresional guru dalam mengajar di ruang kelas pembelajaran.
Respon siswa mencakup selama proses pembelajaran serta setelah pembelajaran
berakhir, yaitu dimana siswa diminta untuk memberikan penilaian dalam skala
penelitian 1 sampai dengan 5 yang merefleksikan apakah guru kurang terampil
secara professional sampai dengan guru berketrampilan professional.
Dalam penelitian ini kompetensi guru
diartikan sebagai kemampuan guru dalam mengajar, mentrasfer informasi atau
materi pembelajaran. Kompetensi guru dalam lingkup ini juga disebut sebagai
kompetensi professional guru yang juga mencakup kemampuan dalam perencanan
pembelajaran dengan kelengkapan silabus, rencana pembelajaran serta media
(bahan) pembelajaran. Kompetensi professional guru melingkupi area pelaksanaan
rencana pembelajaran tersebut serta evaluasi pembelajaran pada tahap akhirnya.
Terdapat beberapa pendapat yang dapat digunakan untuk mendefinisikan
tentang apa yang dimaksud dengan belajar. Teori belajar yang selalu menjadi
refernsi banyak ahli adalah teori belajar yang dikembangkan oleh Gestalt. Dalam
sudut pandang Gestalt anak dilihat sebagai suatu keseluruhan atau
satu kesatuan yang utuh dengan segenap kemampuan untuk berintekrasi dengan
dunia sekitarnya untuk mencapai tujuan-tujuannya. Kemampuan berinteraksi yang
muncul dari seorang anak merupakan sekuen dari respon-respon yang diberikannya
atas rangsangan atau stimulus dari lingkungannya. Tentu saja, tidak semua
stimulus yang diberikan oleh lingkungan akan diterima sepenuhnya oleh peserta
didik melainkan akan diseleksi untuk menyesuaikan tujuan komunikasiny, reaksi
yang merupakan bagian dari interaksi tersebut kemudian muncul dari hasil
manajemen stimulus yang telah dikelola.
Implikasi
dari penerapan teori gestalt ini dalam pendidikan adalah pandangan serta
perlakuan terhadap peserta didik sebagai makhluk yang aktif serta berprilaku
dinamis. Dalam proses pembelajaran, guru harus banyak melibatkan peserta didik
secara aktif (berperan aktif) untuk ikut serta dalam aktivitas pembelajaran
yang berlangsung diruang kelas. Peran serta siswa (siswa aktif) harus
dilibatkan dalam setiap proses pembelajaran baik peran aktif siswa yang
melibatkan aktivitas fisik maupun mental. Akhmad Sudrajat[21] dalam
artikelnya menjelaskan beberapa aplikasi teori Gestalt dalam prosesn
pembelajaran, yaitu:
Pertama,
teori ini menekankan pada pengalaman
tilikan (insight); bahwa tilikan memegang peranan yang penting dalam
perilaku. Dalam proses pembelajaran, hendaknya peserta didik memiliki kemampuan
tilikan yaitu kemampuan mengenal keterkaitan unsur-unsur dalam suatu obyek atau
peristiwa. Kedua, pembelajaran yang bermakna (meaningful learning);
kebermaknaan unsur-unsur yang terkait akan menunjang pembentukan tilikan dalam
proses pembelajaran. Makin jelas makna hubungan suatu unsur akan makin efektif
sesuatu yang dipelajari. Hal ini sangat penting dalam kegiatan pemecahan
masalah, khususnya dalam identifikasi masalah dan pengembangan alternatif
pemecahannya. Hal-hal yang dipelajari peserta didik hendaknya memiliki makna
yang jelas dan logis dengan proses kehidupannya.
Aplikasi selanjutnya pada tujuan berprilaku (pusposive
behavior); bahwa perilaku terarah pada tujuan. Perilaku bukan hanya terjadi
akibat hubungan stimulus-respons, tetapi ada keterkaitannya dengan dengan
tujuan yang ingin dicapai. Proses pembelajaran akan berjalan efektif jika
peserta didik mengenal tujuan yang ingin dicapainya. Oleh karena itu, guru
hendaknya menyadari tujuan sebagai arah aktivitas pengajaran dan membantu
peserta didik dalam memahami tujuannya.
Selain itu, aplikasi pada prinsip ruang hidup (life
space); bahwa perilaku individu memiliki keterkaitan dengan lingkungan
dimana ia berada. Oleh karena itu, materi yang diajarkan hendaknya memiliki
keterkaitan dengan situasi dan kondisi lingkungan kehidupan peserta didik.
Dalam sisi lain, teori Gestalt juga dapat diaplikasikan pada proses transfer
dalam Belajar; yaitu pemindahan pola-pola perilaku dalam situasi pembelajaran
tertentu ke situasi lain. Menurut pandangan Gestalt, transfer belajar terjadi
dengan jalan melepaskan pengertian obyek dari suatu konfigurasi dalam situasi
tertentu untuk kemudian menempatkan dalam situasi konfigurasi lain dalam
tata-susunan yang tepat. Judd menekankan pentingnya penangkapan prinsip-prinsip
pokok yang luas dalam pembelajaran dan kemudian menyusun ketentuan-ketentuan
umum (generalisasi). Transfer belajar akan terjadi apabila peserta didik telah
menangkap prinsip-prinsip pokok dari suatu persoalan dan menemukan generalisasi
untuk kemudian digunakan dalam memecahkan masalah dalam situasi lain. Oleh
karena itu, guru hendaknya dapat membantu peserta didik untuk menguasai
prinsip-prinsip pokok dari materi yang diajarkannya.
Dengan
menggunakan teori Gestalt diatas, maka proses belajar peserta didik harus
melibatkan untuk fisik (psikomotr) dan non fisik (kognitif dan afektif).
Sehingga hasil belajar dalam sudut pandang ini harus terefleksi dari kemampuan
kognitif, afektif dan psikomotor. Hal ini sesuai dengan taksonomi Bloom seperti
yang dijelaskan dalam Wikipedia[22]
bahwa hirarki tujuan pendidikan dibagi kedalam tiga domain utama, yaitu:
kognitif, afektif dan psikomotor. Menurut Bloom, Cognitive Domain (atau Ranah
Kognitif), merupakan perilaku-perilaku yang menekankan aspek intelektual atau
kinerja otak seperti berfikir dan belajar. Dalam kurrikulum pendidikan
nasional, beberapa kata kerja operasional yang merepresentasikan ranah
kongnitif ini digolongkan dalam beberapa kelompok seperti:
1.
Pengetahuan
(C1) : Mengutip, Menyebutkan, Menjelaskan, Menggambar,
Membilang, Mengidentifikasi, Mendaftar, Menunjukkan, Memberi label, Memberi
indeks, Memasangkan, Menamai, Menandai, Membaca, Menyadari, Menghafal, Meniru,
Mencatat, Mengulang, Mereproduksi, Meninjau, Memilih, Menyatakan, Mempelajari,
Mentabulasi, Memberi kode, Menelusuri, Menulis
2.
Pemahaman
(C2) : Memperkirakan, Menjelaskan, Mengkategorikan,
Mencirikan, Merinci, Mengasosiasikan, Membandingkan, Menghitung,
Mengkontraskan, Mengubah, Mempertahankan, Menguraikan, Menjalin, Membedakan,
Mendiskusikan, Menggali, Mencontohkan, Menerangkan, Mengemukakan, Mempolakan,
Memperluas, Menyimpulkan, Meramalkan, Merangkum, Menjabarkan
3.
Penerapan
(C3) : Menugaskan, Mengurutkan, Menerapkan, Menyesuaikan,
Mengkalkulasi, Memodifikasi, Mengklasifikasi, Menghitung, Membangun ,
Membiasakan, Mencegah, Menentukan, Menggambarkan, Menggunakan, Menilai,
Melatih, Menggali, Mengemukakan, Mengadaptasi, Menyelidiki, Mengoperasikan,
Mempersoalkan, Mengkonsepkan, Melaksanakan, Meramalkan, Memproduksi, Memproses,
Mengaitkan, Menyusun, Mensimulasikan, Memecahkan, Melakukan, Mentabulasi,
Memproses, Meramalkan
4.
Analisis
(C4) : Menganalisis, Mengaudit, Memecahkan, Menegaskan,
Mendeteksi, Mendiagnosis, Menyeleksi, Merinci, Menominasikan, Mendiagramkan,
Megkorelasikan, Merasionalkan, Menguji, Mencerahkan, Menjelajah, Membagankan,
Menyimpulkan, Menemukan, Menelaah, Memaksimalkan, Memerintahkan, Mengedit,
Mengaitkan, Memilih, Mengukur, Melatih, Mentransfer
5.
Sintesis
(C5) : Â Mengabstraksi, Mengatur, Menganimasi,
Mengumpulkan, Mengkategorikan, Mengkode, Mengombinasikan, Menyusun, Mengarang,
Membangun, Menanggulangi, Menghubungkan, Menciptakan, Mengkreasikan,
Mengoreksi, Merancang, Merencanakan, Mendikte, Meningkatkan, Memperjelas,
Memfasilitasi, Membentuk, Merumuskan, Menggeneralisasi, Menggabungkan,
Memadukan, Membatas, Mereparasi, Menampilkan, Menyiapkan Memproduksi,
Merangkum, Merekonstruksi
6.
Penerapan
(C6) : Membandingkan, Menyimpulkan, Menilai, Mengarahkan,
Mengkritik, Menimbang, Memutuskan, Memisahkan, Memprediksi, Memperjelas,
Menugaskan, Menafsirkan, Mempertahankan, Memerinci, Mengukur, Merangkum,
Membuktikan, Memvalidasi, Mengetes, Mendukung, Memilih, Memproyeksikan
Sedangkan, Affective Domain atau ranah afektif
yang menekankan aspek perasaan dan emosi yang direfleksikan dengan sikap dan
minat atau cara-cara lain dalam penyesuaian diri. Kata kerja operasional
seperti yang dituliskan dalam kurrikulum pembelajaran kategori ranah afektif
dikelompokkan sebagai berikut:
1.
Menerima
(A1) : Memilih, Mempertanyakan, Mengikuti, Memberi,
Menganut, Mematuhi, Meminati
2.
Menanggapi
(A2): Menjawab, Membantu, Mengajukan, Mengompromika,
Menyenangi, Menyambut, Mendukung, Menyetujui, Menampilkan, Melaporkan, Memilih,
Mengatakan, Memilah, Menolak
3.
Menilai
(A3): Mengasumsikan, Meyakini, Melengkapi, Meyakinkan,
Memperjelas, Memprakarsai, Mengimani, Mengundang, Menggabungkan, Mengusulkan,
Menekankan, Menyumbang
4.
Mengelola
(A4): Menganut, Mengubah, Menata, Mengklasifikasikan,
Mengombinasikan, Mempertahankan, Membangun, Membentuk pendapat, Memadukan, Mengelola,
Menegosiasi, Merembuk
5.
Menghayati
(A5): Mengubah perilaku, Berakhlak mulia, Mempengaruhi,
Mendengarkan, Mengkualifikasi, Melayani, Menunjukkan, Membuktikan, Memecahkan
Area yang terakhir, Psychomotor Domain atau
ranah psikomotor adalah kumpulan perilaku yang menekankan keterampilan gerak
(sensor motorik) yang dilakukan oleh lima indra seperti tulisan tangan,
mengetik dan lainnya.
1.
Menerima : Memilih,
Mempertanyakan, Mengikuti, Memberi, Menganut, Mematuhi, Meminati
2.
Menanggapi : Menjawab,
Membantu, Mengajukan, Mengompromika, Menyenangi, Menyambut, Mendukung,
Menyetujui, Menampilkan, Melaporkan, Memilih, Mengatakan, Memilah, Menolak
3.
Menilai :
Mengasumsikan, Meyakini, Melengkapi, Meyakinkan, Memperjelas, Memprakarsai,
Mengimani, Mengundang, Menggabungkan, Mengusulkan, Menekankan, Menyumbang
4.
Mengelola : Menganut,
Mengubah, Menata, Mengklasifikasikan, Mengombinasikan, Mempertahankan,
Membangun, Membentuk pendapat, Memadukan, Mengelola, Menegosiasi, Merembuk
5.
Menghayati : Mengubah
perilaku, Berakhlak mulia, Mempengaruhi, Mendengarkan, Mengkualifikasi,
Melayani, Menunjukkan, Membuktikan, Memecahkan
Selain pendapat diatas, mengutip pendapat Burton,
Usman mengatakan bahwa apa yang dimaksud dengan belajar pada hakekatnya adalah
sebagai sebuah proses perubahan sikap atau tingkah laku seorang individu yang
disebabkan oleh faktor internal diri dan eksternal individu yang berasal dari
lingkungan yang kemudian proses perubahan sikap atau tingkah laku ini menjadi
landasan bagi dirinya untuk melakukan interaksi dengan lingkungannya.[23]
Dengan menggunakan pendapat Burton diatas, maka setiap
proses yang menghasilkan sebuah perubahan tingkah laku seseorang dapat
didefinisikan sebagai sebuah proses belajar. Namun, Gardler memberikan uraian
penting terhadap aktivitas perubahan tingkah laku ini. Menurutnya, perubahan
tingkah laku yang dihasilkan dalam proses belajar haruslah mencakup perubahan
kognitif, psikomotor dan afektif. [24]
Pendidikan kewarganegaraan atau juga dikenal dengan
nama civic education dan citizenship education, menurut Kaelan
dan Zubaidi[25]
ditujukan untuk mempersiapkan warga Negara yang cerdas, bertanggung jawab dan
berkeakraban. Dalam rumusan Civic
International pada tahun 1995 seperti yang diutarakan oleh Mansoer dan
dikutip oleh Kaelan dan Zubaidi, pendidikan kewarganegaraan atau PPKN penting
untuk diberikan dengan penekanan bahwa “pendidikan demokrasi penting untuk
pertumbuhan civic culture, untuk
keberhasilan pengembangan dan pemeliharaan pemerintahan demokrasi.”[26]
Terkat dengan paragdigma dasar Negara, maka pendidikan kewarganegaraan atau (PPKN)
perpegang pada basis utamanya yaitu Pancasila.
Dari sudut pandang belajar diatas yang muncul dari
adanya perubahan tingkah laku sebagai hasil sebuah proses pembelajaran seperti
yang diterangkan oleh Burton, teori Gestalt serta Bloom diatas, maka dapatlah
disimpulkan bahwa hasil belajar merupakan hasil yang dikeluarkan dari sebuah
aktivitas belajar yang tercermin pada perubahan pola berfikir siswa, perubahan
dalam kemampuan keterampilan serta, perubahan dalam bersikap. Hasil belajar PPKN
oleh karenanya dapat diartikan sebagai peruahan pola berfikir siswa terhadap
konsep warga Negara sehingga terjadi perubahan dalam bertingkah laku menjadi
warga Negara yang cerdas dan bertanggung jawab.
Pada uraian sebelumnya telah jelas tentang apa yang dimaksudkan dengan
persepsi siswa, kompetensi guru, belajar dan hasil belajar. Sebagai sebuah
institusi pendidikan, sebuah sekolah memiliki lingkungan sekolah, dimana proses
pelaksanaannya banyak dipengaruhi oleh pemegang saham (stakeholder) didalamnya
seperti kepala sekolah, bagian administrasi, guru, siswa, orang tua siswa dan
lingkungan sekolah sekitarnya. Dengan kata lain, ketercapaian tujuan pendidikan
dalam sebuah satuan pendidikan ditentukan oleh kualifikasi yang dimiliki oleh
para pemegang saham tersebut.
Sebagai stakeholder serta pelaku pembelajaran, guru
memiliki peranan penting dalam pencapaian tujuan pendidikan disekolah. Peranan
guru sangat mendasar didalam mempengaruhui arah pencapaian tujuan pendidikan
dalam membentuk manusia Indonesia seutuhnya khususnya melalui pembelajaran mata
pelajaran pendidikan kewarganegaraan yang diampu. Tingkat keberhasilan
pencapaian pendidikan di sekolah ini tentulah sangat bergantung pada kompetensi
professional guru dalam aktivitas pembelajaran.
Selama ini siswa selalu diperlakukan sebagai objek
pembelajaran, yang bertugas untuk menerima ataupun merekam apa yang disampaikan
oleh guru dalam aktivitas pembelajaran. Padahal, pada konteks sebenarnya, siswa
merupakan pihak yang sedang belajar sehingga peranannya arus beralih dari objek
pembelajaran menjadi subjek pembelajaran. Dengan menempatkan siswa sebagai
subjek pembelajaran inilah maka kompetensi siswa dapat dikembangkan secara
optimal.
Selain itu, menempatkan siswa sebagai subjek pembelajar
juga dapat diartikan memainkan peranan siswa sebagai pengawas (controller)
aktivitas pembelajaran tersebut terutama dalam menjaga kualitas profresional
guru dalam hal mengajar. Siswa dapat dijadikan barometer penilaian tentang
kualitas tugas professional guru dalam mentrasfer ilmu pengetahuan. Oleh karena
itu, diduga adanya hubungan persepsi siswa atas kompetensi guru dengan hasil
belajar PPKN di Rayon 04 Kecamatan Cilincing, Jakarta Utara
Dengan memperhatikan dua variabel penelitian diatas,
maka hipotesis penelitian ini adalah:
“Terdapat hubungan positif antara persepsi siswa tentang kompetensi guru
dengan hasil belajar PPKN di Rayon 04 Kecamatan Cilincing, Jakarta Utara.”
BAB III
PENUTUP
Dari uraian pembahasan serta hasil penelitian yang disajikan pada
bab-bab sebelumnya maka dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut:
Dari kesimpulan diatas, maka beberapa saran yang ditawarkan terkait
dengan hasil penelitian ini adalah:
DAFTAR
PUSTAKA
Badudu,
Sutan dan M Zein. 1996. Kamus Umum Bahasa
Indonesia , Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
Departemen
Pendidikan Nasional. 2003. Standar
Kompetensi Guru SLB, SD, SMP, dan SMA. Jakarta: Depdiknas.
Hamalik,
Oemar. 1995. Pendidikan guru Berdasarkan
Pedekatan Kompetensi. Jakarta: Bumi Aksara.
Hanifah dan
Cucu Suhana. 2009. Konsep dan Strategi
Pembelajaran. Bandung: Refika Aditama.
Kalean dan
Achmad Zubaidi. 2007. Pendidikan
Kewarganegaraan untuk Perguruan Tinggi. Yogyakarta: Paradigma.
Khalifah,
Mahmud dan Usamah Quthub. 2009. Menjadi
Guru yang Dirindu. Surakarta: Ziyad Visi media.
Mulyasa, E.
2005. Menjadi Guru Profesional.
Bandung:Remaja Rosdakarya.
Samana.
1994. Profesionalisme Keguruan.
Yogyakarta: Kanisius.
Sudjana.
1999. Metode Statistika. Jakarta:
Rineka Cipta.
Surjadi,
dkk. 1996. Kamus Lengkap Inggris
Indonesia, Indonesia Inggris.
Surabaya: Indah.
Syah,
Muhibban.1997. Psikologi Pendidikan
Dengan Pendekatan Baru. Bandung: Remaja
Rosdakarya.
Usman, Moch.
Uzer. 1995. Menjadi Guru Profesional.
Bandung: Remaja Rosdakarya.
Usman, Moh.
Uzer. 2003. Menjadi Guru Profesional.
[1] Mahmud Khalifah dan Usamah Quthub. 2009. Menjadi Guru yang Dirindu. Surakarta: Ziyad Visi media. Hal. 129.
[2] Ibid.
[3] Stephen P. Robbins. 2007. Perilaku
Organisasi. Buku I. Jakarta: Salemba Empat. Hal 174.
[4] Bjorklund, D.V. 2000. Children’s
Thinking: Development Function and Individual Differences. 3rd
Edition. Belmont: Wadsworth. Hal 2-13.
[5] Surjadi, dkk. 1996. Kamus
Lengkap Inggris Indonesia, Indonesia Inggris. Surabaya: Indah. Hal. 269.
[6] Moch. Uzer Usman. 1995. Menjadi
Guru Profesional. Bandung: Remaja Rosdakarya. Hal. 14
[7] Departemen Pendidikan Nasional. 2003. Standar Kompetensi Guru SLB, SD, SMP, dan SMA. Jakarta: Depdiknas.
Hal. 3
[8] Moch. Uzer Usman Loc Cit.
Hal. 15
[9] Hanifah dan Cucu Suhana. 2009. Konsep
dan Strategi Pembelajaran. Bandung: Refika Aditama. Hal. 104-106.
[10] E. Mulyasa, Dr. M.Pd. 2009. Menjadi
Guru Profesional: Menciptakan Pembelajaran Kreatif dan Menyenangkan. Bandung:
PT. Remaja Rosdakarya. Hal . 191-192.
[11] Hamzah B. Uno. Prof. Dr. M.Pd. 2011. Profesi Kependidikan: Problem, Solusi, dan Reformasi Pendidikan di
Indonesia. Jakarta: Bumi Aksara. Hal. 89.
[12] E. Mulyasa, Dr. M.Pd. Loc.Cit.
Hal . 191-192.
[13] Hamzah B. Uno. Prof. Dr. M.Pd. Op.Cit.
Hal. 69.
[14] Depdikbud. 1985. Program Akta
Mengajar V-B Komponen Dasar Kependidikan. Buku II, Modul Pendidikan Tenaga
Kependidikan Berdasarkan Kompetensi. Jakarta: UT. Hal. 5.
[15] Hanifah dan Cucu Suhana. Op.Cit.
Hal. 105
[16] Muhibban,Syah.1997. Psikologi
Pendidikan Dengan Pendekatan Baru. Bandung: Remaja Rosdakarya. Hal. 229
[17] Samana. 1994. Profesionalisme
Keguruan. Yogyakarta: Kanisius. Hal. 61-68
[18] Oemar,Hamalik. 1995. Pendidikan
guru Berdasarkan Pedekatan Kompetensi. Jakarta: Bumi Aksara. Hal. 38
[19]Sutan Badudu dan M Zein. 1996. Kamus
Umum Bahasa Indonesia , Jakarta: Pustaka Sinar Harapan. Hal. 709.
[20] E. Mulyasa. Op.Cit. Hal.
48.
[21] Akhmad Sudrajat. 2008. Aplikasi Teori Gestalt dalam Proses
Pembelajaran. Online Artikel pada http://akhmadsudrajat.wordpress.com/2008/02/02/teori-teori-belajar/
[22] Wikipedia. 2012. Taksonomi
Bloom. Tersedia pada http://id.wikipedia.org
diakses 19 April 2012
[23] Moh. Uzer Usman. 2003. Menjadi
Guru Profesional.
[24] Ibid. Hal. 62
[25] Kaelan, Prof. Dr., M.S dan Achmad Zubaidi, H., Drs. M.Si.
2007. Pendidikan Kewarganegaraan.
Yogyakarta: Paradigma. Hal. 1.
[26] Kaelan, Prof. Dr., M.S dan Achmad Zubaidi, H., Drs. M.Si. Ibid.