Perbandingan Puisi Kwartin Tentang Sebuah Poci karya Goenawan Mohammad dan Bukan Beta Bijak Berperi karya Rustam Effendi (Pendekatan Stlistika)
Perbandingan Puisi Kwartin Tentang
Sebuah Poci karya Goenawan Mohammad dan Bukan Beta Bijak Berperi karya Rustam Effendi
(Pendekatan Stlistika)
Oleh : Kinanti Swastika
Abstrak
Tujuan
penelitian adalah Mengatahui persamaan dan perbedaan dalam puisi Kwartin Tentang Sebuah Poci karya Goenawan Muhamad dan Bukan
Beta Bijak Berperi karya Rustam Effendi. Persamaan dan perbedaan puisi
dengan menggunakan pendekatan stilistika yang berpusat pada bunyi pada puisi,
makna yang terkandung, imaji, dan gaya bahasa pada kedua puisi. Metode
penelitian yang digunakan adalah metode deskriptif kualitatif.
Berdasarkan hasil penelitian, Bila dilihat dari sisi bentuk, puisi karya Goenawan Muhamad
dan Rustam Effendi sama –sama keluar dari aturan konvensional puisi. Puisi ini
sama-sama berbentuk satu bait yang berisi lebih dari empat baris. Puisi kwatrin
berisi 8 baris, sedangkan puisi bukan beta bijka berperi berjumlah 21 baris.
Selain itu persamaan kedua puisi dilihat dari sisi tema, karena sama-sama
mengangkat ketidakpuasan manusia terhadap apa yang didapat.
Perbedaan
kedua puisi dilihat dari sisi gaya bahasa, gaya bahasa dalam puisi Goenawan
kebanyakan memakai asosiasi dan hiperbola, dan sedangkan dalam puisi Effendi
banyak memakai gaya metofora.
Kata kunci : puisi
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Manusia sangat
membutuhkan bahasa sebagai alat untuk menyampaikan gagasan atau pikiran dan
ide-idenya dengan maksud ingin mengutarakannya kepada pihak lain. Bahasa yang
digunakan dalam karya sastra berbeda dengan bahasa yang digunakan sehari-hari
atau bahasa formal, sebab dalam sastra yang digunakan adalah bahasa yang telah
disiasati, dimanipulasi dan didayagunakan secermat mungkin, sehingga tampil
dengan bentuk yang berbeda dengan bahasa non sastra.
Bahasa sastra adalah
bahasa yang mempunyai ciri deotomatisasi, penyimpangan dari cara penuturan yang
telah bersifat otomatis, rutin, biasa, dan wajar. Kaum Formalis berpendapat
bahwa adanya penyimpangan dari suatu yang wajar itu merupakan proses sastra
yang mendasar.
Pembaca yang menikmati puisi, tidak hanya sekedar
mengapresiasi makna yang terkandung secar tersirat atau tersurat dalam puisi
tersebut, akan tetapi akan berhadapan dengan serangkaian kata-kata yang indah
sebagai satuan bentuk pemikiran yang dimaksud penyair. Pada dasarnya puisi
dibangun dua unsure yakni unsure fisik yakni bahas yang digunakan dan struktur
batin yakni struktur makna dalam pikiran penyair. Kedua unusr inilah yang akan
terjalin oleh penyair.
Penyair menulis puisi, menyusun baris-baris dan
bait-bait menggunakan kata-kata, lambang-lambang, kiasan, dan sebagainya. Semua
yang ditampilkan oleh penyair dalam puisi mempunyai makna-makna tertentu karena
puisi merupakan ungkapan perasaan dan pikiran penyair. Sedangkan bahasa menjadi bagian penting dalam
puisi, karena bahasa dijadikan sebagai media pembangun karya sastra. Sebagai
media pembangun karya sastra, bahasa berfungsi untuk mengungkapkan gagasan dan
tujuan yang ada dalam benak pengarang yang ingin disampaikan kepada pembaca.
Oleh karena itu, di dalam menyampaikan
gagasan-gagasan tersebut, pengarang akan memiliki gaya bahasa sendiri yang
mencerminkan karakternya. Oleh karena itu , puisi dapat dikaji melalui
bahasanya. Pradopo mengungkapkan, Puisi dapat dikaji bahasanya karena mempunyai
struktur yang terdiri dari unsur-unsur bermakna dan bernilai estetika. Melalui
bahasanya, puisi dapat dikaji dari berbagai aspek.
Salah satu untuk mengkaji
unsur fisik dan batin puisi adalah stlistika. Modal dasar kajian stilistika
adalah pemahaman atas bahasa. Stilistika sebagai bahasa khas sastra, akan
memiliki keunikan tersendiri dibanding bahasa komunikasi sehari-hari. Sudjiman
berpengertian bahwa stilistika adalah mengkaji wacana sastra dengan orientasi
lingusitik. Stilistika meneliti ciri khas penggunaan bahasa dalam wacana
sastra, ciri-ciri yang membedakan atau mempertimbangkan dengan wacana non
sastra, meneliti derivasi terhadap tata bahasa sebagai sarana literatur,
stilistika meneliti sastra fungsi fuitik suatu bahasa. Dalam keterkaiatan itu,
maka penulis menjadikan Kwartin
Tentang Sebuah Poci karya Goenawan Mohammad dan puisi Bukan Beta Bijak Berperi karya Rustam Effendi.
Metode
Penelitian
Metode yang digunakan
dalam penelitian ini adalah metode deskriptif dengan teknik analisis isi, yakni
menganalisis dan mendeskripsikan Persamaan dan perbedaan puisi dengan
menggunakan pendekatan stilistika yang berpusat pada bunyi pada puisi, makna
yang terkandung, dan gaya bahasa pada kedua puisi.
Teknik pengumpulan data
dalam penelitian ini adalah membaca berulang-ulang puisi Kwartin Tentang Sebuah Poci karya Goenawan Muhamad dan Bukan Beta Bijak Berperi karya Rustam. Sehingga
tiga episode yang berjudul “Salah Berhasrat”, “Kekasihku, Penyiksaku”, dan
“Rindu untuk Diperhatikan” adalah episode yang diteliti.
Hasil
dan Pembahasan
Puisi Kwatrin tentang sebuah Poci ditemukan terdapat kesamaan rima yakni pada kata “ini” yang terdapat dalam baris ke-5 dan “ilusi” pada baris ke-6 serta terdapat juga kesamaan rima yakni pada baris ke-7 pada kata “kelak retak. Selain itu akhir dari tiap baris memiliki kesamaan, baris pertama dan kedua sama-sama dengan akhiran “u”. Baris ketiga dan keempat sama-sama dengan akhiran “a”, selanjutnya pada baris kelima dan keenam sama-sama dengan akhiran “I”. Pada baris ketujuh dan kedelapan terdapat perbedaan akhiran, seperti pada baris ketujuh dan kedelapan yang sengaja tidak dipasangkan. Sedangkan Lima bait pada puisi Bukan Beta Bijak Berperi karya Ristam Effendi berisi pernyataan yang bersambungan. Namun, sajak dalam puisi itu berpola a b a b, bukan a a a a. Sehingga, pola sajak yang tercipta akhirnya adalah pola sajak pantun. Selanjutnya dari sisi bentuk Effendi hanya mengubah sedikit rangkaian seloka lama dengan sentuhan baru tanpa meninggalkan konvensi yang sudah ada. Ia mencoba memberontak konvensi puisi lama itu dengan menyingkirkan beberapa ketentuan – ketentuan dan menyusun karya baru sesuai kata hati serta keinginannya.
Selanjutnya dalam menemukakan imaji dalam puisi Kwatrin diksi
yang dipilih menghasilkan imaji penglihatan, pendengaran atau cita rasa. Pada
puisi Goenawan Mohammad gagasan yang ingin disampaikan dalam puisi Kwartin
Tentang Sebuah Poci adalah kehidupan yang tak abadi namun dipaparkan semisal
dalam larik pada keramik tanpa nama itu / kulihat kembali wajahmu dapat
diasosiasikan, keramik pada larik tersebut maknanya adalah benda yang terbuat
dari tanah liat dan sifatnya mudah pecah hal ini disamakan dengan manusia yang
merupakan benda dan tubuhnya bisa rusak kemudian larik mataku belum tolol,
ternyata / untuk sesuatu yang tak ada dapat diasosiasikan dengan melihat
sesuatu yang akan musnah untuk larik Apa yang berharga pada tanah liat ini /
selain separuh ilusi dapat diasosiasikan sebagai apa yang berharga pada tubuh
manusia selain bayang-bayang dan larik terakhir yaitu sesuatu yang kelak retak
/ dan kita membikinnya abadi dapat diasosiasikan dengan tubuh manusia ini
seakan hanya bayang-bayang yang suatu saat akan rusak / tidak abadi dan melalui
tubuh manusia yang tak abadi ini manusia membuat sesuatu yang abadi. Sedangkan
pada puisi Bukan Dalam puisi ini ditemukan imaji perasaan dan pendengaran
Selanjutnya dalam puisi Goenawan Mohammad kiasan yang banyak
digunakan adalah metafora yakni kiasan langsung, artinya benda yang dikiaskan
langsung itu tidak disebutkan. Jadi ungkapan itu langsung berupa kiasan. Contoh
klasik : Lintah darat, bunga bangsa, kambing hitam dan sebagainya). Dalam
“Kwatrin Tentang Sebuah Poci” Goenawan Mohammad, wajah manusia dikiaskan
sebagai sebuah keramik tanpa nama. Selain penggunaan majas maetafora, dalam
puisi adalah hiperbola, ini terlihat pada bait Mataku belum tolol, ternyata.
Dan pembandinnya dapat dijumpai bahasa kiasan yang digunakan. Misalkan untuk
menyebut diri penulis , menggunakan istilah (beta) selain itu dapat kita jumpai
berbagai majas ( gaya bahasa ) yang digunakan pengarang untuk memperindah
puisinya.
Analisis berikutnya
adalah analisis makna Pada puisi Goenawan Mohammad gagasan
yang ingin disampaikan dalam puisi Kwartin Tentang Sebuah Poci adalah kehidupan
yang tak abadi namun dipaparkan semisal dalam larik pada keramik tanpa nama itu
/ kulihat kembali wajahmu dapat diasosiasikan, keramik pada larik tersebut
maknanya adalah benda yang terbuat dari tanah liat dan sifatnya mudah pecah hal
ini disamakan dengan manusia yang merupakan benda dan tubuhnya bisa rusak
kemudian larik mataku belum tolol, ternyata / untuk sesuatu yang tak ada dapat
diasosiasikan dengan melihat sesuatu yang akan musnah untuk larik Apa yang
berharga pada tanah liat ini / selain separuh ilusi dapat diasosiasikan sebagai
apa yang berharga pada tubuh manusia selain bayang-bayang dan larik terakhir
yaitu sesuatu yang kelak retak / dan kita membikinnya abadi dapat diasosiasikan
dengan tubuh manusia ini seakan hanya bayang-bayang yang suatu saat akan rusak
/ tidak abadi dan melalui tubuh manusia yang tak abadi ini manusia membuat
sesuatu yang abadi.
merasa bahwa ia bukanlah orang hebat yang mampu mengubah konvensi syair yang telah ada. Ia pun bukan budak di negeri sendiri yang selalu harus menurut dan tunduk pada segala peraturan orang asing, yang secara langsung maupun tidak telah menjajah negerinya. Terkadang ia merasa kesulitan untuk menyampaikan apa yang ada dalam hati dan pikirannya. Ia hanya bisa menunggu waktu yang tepat. Sedangkan dalam puisi Bukan Beta Bijak Berperi ,penyair memaknai kadang ia merasa susah atau sedih karena kemudahan tidak juga datang. Kadang ia juga kesulitan untuk memberontak karena terikatnya ia dengan peraturan yang tidak jelas faedahnya. Ia mengakui bahwa dirinya bukanlah orang yang pandai melagukan pantun. Iapun mengakui bahwa ia sebenarnya tidak membuat sesuatu yang baru, melainkan hanya mendengarkan bisikan dari dirinya sendiri dan orang – orang sekitarnya yang ingin membebaskan diri dari keterbelengguan segala hal (penjajah, konvensi dalam membuat puisi, dsb.
PENUTUP
Kesimpulan
Bila dilihat dari sisi bentuk, puisi karya Goenawan Muhamad
dan Rustam Effendi sama –sama keluar dari aturan konvensional puisi. Puisi ini
sama-sama berbentuk satu bait yang berisi lebih dari empat baris. Puisi kwatrin
berisi 8 baris, sedangkan puisi bukan beta bijka berperi berjumlah 21 baris. Selain
itu persamaan kedua puisi dilihat dari sisi tema, karena sama-sama mengangkat
ketidakpuasan manusia terhadap apa yang didapat. Perbedaan kedua puisi dilihat
dari sisi gaya bahasa, gaya bahasa dalam puisi Goenawan kebanyakan memakai
asosiasi dan hiperbola, dan sedangkan dalam puisi Effendai banyak memakai gaya
metofora.
DAFTAR
PUSTAKA
Endraswara,
Suwardi. 2003. Metodologi Penelitian Sastra. Yokyakarta: MedPress.
Keraf, Gorys. 1985. Diksi dan Gaya Bahasa. Jakarta:
Gramedia.
Nurgiyantoro,
Burhan. 2007. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Pradopo,
Rachmat Djoko.
1993. Pengkajian Puisi. Yogyakarta:
UGM Press.
-----------------------------.
1995. Beberapa Teori Sastra, Metode Kritik, dan Penerapannya.
Yokyakarta: Pustaka Pelajar.
Sastrowardoyo, Subagio. 1982. Daerah
Perbatasan. Jakarta: Balai Pustaka
Tarigan,
Henry Guntur. 1993. Pengajaran Semantik. Bandung: Angkasa.